MK Hapus Presidential Threshold, DPD RI Kasih Apresiasi!

  • Bagikan
Gedung Mahkamah Konstitusi
Gedung Mahkamah Konstitusi

KAMAKAMU – Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold).

Keputusan ini mencatat sejarah baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia, terutama setelah 32 kali pengajuan uji materi sebelumnya ditolak.

MK akhirnya menetapkan bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan konstitusi, membuka peluang seleksi pemimpin nasional yang lebih inklusif.

Anies dan Ahok Bertemu di Malam Tahun Baru, Pengamat: Ini Bersejarah

Anggota DPD RI dari Dapil Jakarta, Fahira Idris, menyatakan bahwa keputusan MK ini mencerminkan integritas dan kedewasaan lembaga hukum tersebut.

Ia menilai, putusan tersebut menunjukkan keberanian MK untuk berpihak pada prinsip demokrasi yang lebih substansial.

Menurut Fahira, langkah ini menjadi bukti nyata bagaimana demokrasi di Indonesia terus berkembang.

“Apresiasi setinggi-tingginya untuk MK atas putusan bersejarah ini. Terima kasih juga kepada empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta atas kegigihan mereka dalam memperjuangkan penghapusan presidential threshold. Setidaknya ada empat dampak besar yang dapat dirasakan dari putusan ini. Pertama, partisipasi publik akan meningkat. Kedua, polarisasi di masyarakat berkurang. Ketiga, demokrasi substantif semakin terwujud. Keempat, kesempatan lahirnya pemimpin bangsa masa depan yang berpihak pada kepentingan rakyat semakin terbuka,” ungkap Fahira Idris di Jakarta, Jumat 3 Januari 2025.

Menurut Fahira, penghapusan presidential threshold memberikan hak yang sama kepada seluruh partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden.

Ini membuka ruang bagi berbagai kelompok masyarakat untuk lebih terwakili dalam kontestasi politik nasional. Dengan keputusan ini, demokrasi menjadi lebih merata dan inklusif.

Selanjutnya, keputusan MK ini juga dianggap dapat meminimalkan polarisasi politik. Selama ini, ketentuan presidential threshold sebesar 20 persen sering kali menghasilkan hanya dua pasangan calon.

Hal tersebut kerap memicu terjadinya polarisasi tajam di masyarakat. Dengan hadirnya lebih banyak kandidat, ketegangan politik dapat diredam, sementara masyarakat memiliki pilihan yang lebih beragam.

Keputusan ini juga menjadi langkah penting dalam memperkuat demokrasi substantif. Dengan lebih banyak kandidat yang maju, rakyat mendapatkan kesempatan untuk memilih pemimpin yang lebih sesuai dengan aspirasi mereka. Ini menjadikan proses pemilu lebih bermakna dan mendalam.

Dampak besar lainnya adalah tumbuhnya lebih banyak calon pemimpin bangsa masa depan yang benar-benar berkomitmen pada kepentingan rakyat.

Dalam setiap gelaran pemilu presiden, masyarakat akan disuguhkan dengan berbagai kandidat yang memiliki latar belakang dan visi beragam.

Hal ini akan mendorong debat publik yang lebih substansial, di mana para calon berlomba menawarkan solusi konkret atas berbagai permasalahan bangsa.

“Putusan MK ini adalah tonggak penting dalam memperkuat demokrasi di Indonesia. Ini juga menjadi pengingat bahwa suara rakyat adalah elemen utama dalam sistem demokrasi,” ujar Fahira Idris.

Sebagai tambahan informasi, MK menyatakan bahwa Pasal 222 Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Putusan ini berawal dari permohonan yang diajukan oleh empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. Permohonan tersebut terdaftar dalam perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024.*

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

62 − = 60
Powered by MathCaptcha