KAMAKAMU – Beberapa partai politik mulai menunjukkan perubahan sikap terkait Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang sebelumnya sempat menjadi fokus perhatian Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Salah satu perubahan mencolok datang dari Partai Demokrat yang baru-baru ini menyatakan tidak akan melanjutkan pengambilan keputusan tingkat II untuk RUU Pilkada.
Jelang Pilkada 2024, Provinsi Bali Masuk Kategori Rawan
Keputusan ini diambil dengan alasan mendengarkan aspirasi mahasiswa serta berbagai elemen masyarakat lainnya.
“Kami mendorong agar KPU RI dapat segera menyusun Peraturan KPU yang sejalan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi,” demikian bunyi pernyataan resmi dari Partai Demokrat, yang dikutip pada Sabtu 24 Agustus 2024.
Pernyataan ini menunjukkan komitmen partai untuk berkoordinasi dengan KPU dalam penyusunan peraturan yang sejalan dengan keputusan MK.
Sikap PKS yang Berubah
Sebelumnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang juga merupakan bagian dari Koalisi Indonesia Maju (KIM), mengumumkan tidak lagi mendukung RUU Pilkada.
Menurut juru bicara PKS, Muhammad Kholid, pihaknya menyambut baik keputusan pimpinan DPR yang membatalkan rencana revisi UU Pilkada.
Keputusan ini dianggap sebagai langkah positif dalam merespons dinamika politik yang berkembang.
Alasan Batalnya Revisi UU Pilkada
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mengungkapkan bahwa pembatalan penetapan revisi UU Pilkada bukan karena tekanan eksternal, melainkan karena ketidaklengkapan syarat tata tertib persidangan di DPR.
“Kita ikuti tatib yang berlaku tentang tata cara persidangan di DPR, setelah ditunda 30 menit, kemudian menurut tatib itu tidak bisa diteruskan sehingga kita tidak jadi laksanakan,” jelas Dasco, yang juga menjabat sebagai Ketua Harian Partai Gerindra, dalam konferensi pers pada Kamis.
KIM Masih Solid Meskipun Ada Perbedaan Pendapat
Meskipun ada perbedaan pendapat mengenai RUU Pilkada, Dasco menegaskan pada Jumat bahwa Koalisi Indonesia Maju masih tetap solid.
Hal ini menandakan bahwa meskipun ada perubahan sikap dari beberapa partai, koalisi ini masih memiliki kesatuan tujuan dan visi.
Kronologi RUU Pilkada
Sebelum terjadi perubahan sikap dari beberapa partai, Badan Legislasi (Baleg) DPR sepakat membawa RUU Pilkada ke sidang paripurna pada Kamis 23 Agustus 2024.
Delapan dari sembilan fraksi di DPR menyetujui RUU ini, dengan hanya PDIP yang menolak.
Pembahasan RUU Pilkada dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, kurang dari tujuh jam, dan langsung dilakukan sehari setelah MK mengeluarkan putusan penting terkait syarat pencalonan Pilkada.
Gelombang Protes Masyarakat
Keputusan untuk melanjutkan pengesahan RUU Pilkada dilakukan di tengah gelombang protes besar dari masyarakat.
Demonstrasi besar-besaran terjadi di sejumlah kota pada hari yang sama. Gelombang protes ini menjadi bagian dari gerakan ‘peringatan darurat Indonesia’ yang viral di media sosial, yang mengecam manuver DPR yang dianggap mengabaikan putusan MK.
Putusan MK dan Ambang Batas Pencalonan
Putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan oleh partai politik yang ada di UU Pilkada, yang sebelumnya sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah.
MK menganulir ketentuan ini dan menetapkan syarat baru bahwa ambang batas pencalonan didasarkan pada jumlah penduduk.
Baleg DPR Tetap Pertahankan Ambang Batas Lama
Namun, Baleg DPR pada Rabu 21 Agustus 2024 memutuskan untuk tetap mempertahankan ambang batas 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah bagi partai yang memiliki kursi di DPRD.
Untuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD, syaratnya mengikuti ketentuan baru yang ditetapkan oleh MK.
Batas Usia Calon Kepala Daerah
Undang-undang Pilkada yang sedang dibahas juga mengatur batas usia minimum bagi calon kepala daerah, yaitu 30 tahun untuk calon gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati/wali kota.
MK melalui putusan nomor 70/PPU-XXII/2024 menegaskan bahwa batas usia minimum ini harus dihitung pada saat calon tersebut ditetapkan oleh KPU, bukan ketika dilantik, namun Baleg DPR justru mengacu pada keputusan Mahkamah Agung (MA) dalam penyusunan beleid ini, bukan putusan MK.*