Cara Cantik Menangani Komplain Konsumen 

  • Bagikan
Ilustrasi menangani komplain konsumen Freepik master1305
Ilustrasi menangani komplain konsumen Freepik master1305

KAMAKAMU – Di era digital ini, komplain konsumen bisa dengan mudah menyebar luas melalui media sosial.

Terkadang, brand merasa benar dan memilih jalur hukum, namun apakah ini selalu menjadi solusi terbaik? Yuk, kita bahas lebih dalam!

Kamu pasti sering lihat, kan, berita tentang konsumen yang komplain di media sosial? Kadang, komplainnya beralasan, tapi sering juga nggak.

Cara Meningkatkan Customer Experience di Era Digital

Konsumen sekarang punya kontrol penuh atas media sosial mereka, dan nggak jarang hal ini bikin brand kewalahan.

Misalnya, kasus koin Prita atau komika yang komplain soal apartemen, di mana brand merasa benar tapi akhirnya kalah di mata publik.

Belum lagi kasus viral “United Breaks Guitars” yang merusak reputasi maskapai penerbangan.

Kenapa Brand Sering Salah Langkah?

Dilansir dari YouTube Marketeers TV pertama, banyak brand berpikir hitam-putih: kalau benar, ya lawan! Padahal, nggak selalu gitu. Ego juga berperan besar.

Ketika emosi mendominasi, logika seringkali terabaikan. Akhirnya, brand memilih jalur hukum tanpa memikirkan dampaknya pada reputasi.

Selain itu, brand sering lupa bahwa konsumen punya kecenderungan untuk membela yang lemah. Ini adalah naluri dasar manusia.

Jadi, ketika konsumen merasa dizalimi oleh brand besar, otomatis dukungan akan mengalir ke mereka.

Psikologi Konsumen di Era Digital

Di era digital, ada beberapa faktor psikologis yang perlu kamu pahami. Pertama, ada digital teray di mana orang merasa bebas dari tanggung jawab saat online.

Akibatnya, mereka lebih berani berkomentar negatif atau menyebarkan informasi yang belum tentu benar.

Kedua, ada illusory truth effect, di mana kebohongan yang diulang-ulang bisa dianggap sebagai kebenaran.

Ini diperparah dengan viralitas media sosial, di mana informasi bisa menyebar dengan cepat tanpa verifikasi.

Kebenaran vs Persepsi

Dalam marketing, persepsi adalah realitas. Fakta memang penting, tapi persepsi konsumen bisa lebih kuat.

Ingat kasus Pepsi Challenge? Dalam blind test, orang lebih suka Pepsi, tapi setelah tahu mereknya, mereka tetap memilih Coca-Cola.

Ini menunjukkan betapa kuatnya persepsi. Oleh karena itu, brand perlu fokus pada bagaimana mereka dipersepsikan oleh konsumen, bukan hanya pada kebenaran faktual.

Prinsip Reciprocity dan Pentingnya Kejujuran

Prinsip reciprocity mengajarkan bahwa perlakuan baik akan dibalas dengan baik, dan sebaliknya.

Namun, ini bukan berarti kamu harus selalu membalas dengan cara yang sama. Terkadang, mengalah dan menunjukkan kejujuran bisa lebih efektif.

Konsep proportionality effect juga menekankan bahwa kejujuran lebih penting daripada kesempurnaan.

Jadi, jika brand melakukan kesalahan, akui saja dan minta maaf. Konsumen akan lebih menghargai kejujuran daripada pembelaan yang berbelit-belit.

Kesimpulan

Menghadapi komplain konsumen memang nggak mudah, tapi ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan.

Pertama, sebisa mungkin selesaikan masalah secara internal sebelum menjadi konsumsi publik.

Ingat, reputasi jangka panjang lebih penting daripada kemenangan sesaat. Kedua, pahami psikologi konsumen dan jangan terpaku pada ego.

Terakhir, utamakan kejujuran dan tunjukkan empati. Dengan begitu, kamu bisa meminimalisir risiko dan menjaga reputasi brand tetap positif.*

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

35 ÷ = 5
Powered by MathCaptcha