Terdakwa Kasus Korupsi Timah Enggan Asetnya Disita Kejagung

  • Bagikan
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar saat memberikan konferensi pers doc ANTARA
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar saat memberikan konferensi pers doc ANTARA

KAMAKAMU – Kasus korupsi besar yang melibatkan tata niaga timah kembali menjadi sorotan. Kuasa hukum terdakwa, Handika Honggowongso, menyampaikan keberatan terkait rencana Kejaksaan Agung (Kejagung) menyita aset terdakwa untuk menutupi kerugian negara yang mencapai Rp 332,6 triliun. Menurutnya, tindakan tersebut perlu sesuai aturan yang berlaku.

Keberatan Kuasa Hukum terhadap Penyitaan Aset

Handika menyatakan bahwa penyitaan aset tidak dapat dilakukan sembarangan. Ia meminta agar Kejagung menaati ketentuan dalam pembebanan uang pengganti sesuai Pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Skill Politik di Tempat Kerja, Ternyata Penting untuk Sukses Berkarir

“Jumlah uang pengganti hanya dapat dibebankan sebesar hasil kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,” ungkapnya di Jakarta, Rabu 20 November 2024.

Menurutnya, tidak adil apabila seluruh kerugian negara dalam dakwaan sebesar Rp 332,6 triliun dibebankan sepenuhnya kepada terdakwa Robert Indarto.

Terdakwa ini, yang menjabat sebagai Direktur PT Sariwiguna Binasentosa (SBS), dinilai tidak menikmati keuntungan langsung dari tindakan tersebut.

Peran PT Timah dalam Kompensasi dan Pemulihan Lingkungan

Lebih lanjut, Handika memaparkan bahwa PT Timah telah memberikan kompensasi sebesar Rp 26 triliun sejak 2015 hingga 2022.

Kompensasi tersebut diberikan atas biaya penambangan bijih timah sebanyak 154.000 ton kepada mitra tambang, termasuk masyarakat.

Namun, angka ini masih jauh dari total kerusakan lingkungan yang diperkirakan mencapai Rp 271 triliun.

Handika menambahkan bahwa PT Timah sebenarnya sudah menjalankan tanggung jawab melalui program reklamasi dan jaminan pemulihan lingkungan.

“Bahkan, negara sudah memperoleh keuntungan berupa pembayaran royalti dan pajak dari PT Timah dan lima smelter lainnya dengan total sekitar Rp 2 triliun,” jelasnya.

Pendekatan Gugatan Perdata, Bukan Jalur Pidana

Handika menegaskan bahwa apabila Kejagung tetap ingin membebankan Rp 332,6 triliun, sebaiknya dilakukan melalui gugatan perdata, bukan menggunakan jalur pidana tipikor. Ia menilai langkah ini lebih sesuai dengan regulasi dan prinsip keadilan.

“Kejaksaan perlu memastikan bahwa tindakan hukum ini tidak melampaui batas limitatif yang ditetapkan dalam undang-undang,” tambahnya.

Sikap Kejagung terhadap Penyitaan Aset

Di sisi lain, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa langkah penyitaan aset adalah bagian dari upaya mengembalikan kerugian negara akibat korupsi tata niaga timah.

Ia menyatakan bahwa aset para tersangka yang telah disita akan dilelang setelah ada putusan hukum tetap.

“Kerugian negara sebesar Rp 332,6 triliun akan dikonversi dengan nilai aset yang telah disita. Hasil lelang aset tersebut nantinya digunakan untuk membayar uang pengganti,” ujar Abdul Qohar.

Abdul Qohar juga menekankan bahwa penyitaan dilakukan sesuai prosedur hukum yang berlaku, dan masing-masing tersangka akan dibebankan tanggung jawab sesuai putusan pengadilan.*

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

48 + = 49
Powered by MathCaptcha