KAMAKAMU – Belanja rutin air galon dan air kemasan, telah menjadi beban ekonomi yang signifikan bagi kelas menengah.
Di negara-negara maju, air minum tersedia secara gratis di tempat umum. Tetapi di Indonesia, kebiasaan ini justru menjadi faktor yang menggerus daya beli kelas menengah.
Hal tersebut tentunya membuat mereka rentan terjerumus ke kelas ekonomi yang lebih rendah.
Syarat Daftar Seleksi CPNS Kemenag 2024
Kebiasaan Air Kemasan yang Membebani
Ekonom Bambang Brodjonegoro menjelaskan penurunan kelas ekonomi di kalangan menengah Indonesia tidak hanya disebabkan oleh pandemi Covid-19 dan PHK massal.
Tetapi juga oleh kebiasaan membeli air galon dan kemasan.
“Secara tidak sadar, pengeluaran untuk air galon telah mengurangi penghasilan kita dengan cukup signifikan,” kata Bambang di kantor Kadin Indonesia, Jakarta.
Di negara maju, air minum disediakan oleh pemerintah di berbagai fasilitas umum, sehingga masyarakat tidak perlu mengeluarkan uang untuk air. Dengan demikian, daya beli mereka tetap terjaga, berbeda dengan kondisi di Indonesia.
Faktor-Faktor Lain yang Memicu Penurunan Kelas
Meskipun pengeluaran untuk air galon adalah salah satu faktor, Bambang menegaskan bahwa penyebab utama penurunan kelas menengah di Indonesia adalah pandemi Covid-19.
Selain itu, setelah pandemi, masalah ekonomi berlanjut dengan tingginya suku bunga dan melemahnya nilai tukar, yang menambah beban ekonomi kelas menengah.
Bambang juga menyoroti kenaikan harga beras akibat El Nino, yang meskipun inflasi umum stabil, tetap menekan daya beli kelas menengah.
Semua faktor ini, menurut Bambang, berkontribusi pada turunnya banyak anggota kelas menengah menjadi “aspiring middle class.”
Ancaman Judi Online dan Dampaknya
Selain masalah ekonomi, Bambang juga menekankan bahaya judi online yang semakin marak.
Menurutnya, sifat adiktif dari judi online dapat dengan cepat menguras penghasilan seseorang, sehingga makin memperburuk kondisi ekonomi individu dan keluarga.
Statistik Kelas Menengah yang Mengkhawatirkan
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia telah menurun drastis dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024. Penurunan ini menggambarkan adanya 9,48 juta orang yang jatuh dari kelas menengah.
Pada saat yang sama, jumlah masyarakat kelas menengah rentan atau “aspiring middle class” meningkat, dari 128,85 juta orang pada 2019 menjadi 137,50 juta orang pada 2024.
Sementara itu, kelompok rentan miskin juga membengkak, menandakan bahwa banyak dari kelas menengah yang turun ke kelompok ekonomi yang lebih rentan.
Potensi Terjerumus ke Kemiskinan
BPS juga mencatat bahwa kelas menengah Indonesia semakin rentan jatuh miskin dalam 10 tahun terakhir.
Hal ini terlihat dari pengeluaran rata-rata kelas menengah yang semakin mendekati batas bawah kategori tersebut, membuat mereka lebih sulit untuk naik ke kelas atas dan lebih rentan jatuh ke kelompok miskin.
Pada 2024, batas atas kelas menengah ditetapkan 17 kali dari garis kemiskinan (Rp 9,90 juta per kapita per bulan), sementara batas bawahnya adalah 3,5 kali garis kemiskinan (Rp 2,04 juta).
Dengan modus pengeluaran sebesar Rp 2,05 juta pada 2024, kelas menengah semakin dekat dengan batas bawah, mencerminkan kondisi ekonomi yang semakin terjepit.
Kebiasaan membeli air galon mungkin terlihat sepele, tetapi dampaknya pada perekonomian kelas menengah cukup signifikan. Ditambah dengan faktor-faktor lain seperti pandemi, suku bunga tinggi, dan inflasi, tantangan bagi kelas menengah Indonesia semakin berat.
Data BPS menunjukkan bahwa kelas menengah Indonesia tidak hanya menghadapi risiko penurunan kelas, tetapi juga ancaman serius jatuh ke dalam kemiskinan.*