4 Pelajaran Berharga dari Kebangkrutan Tupperware

  • Bagikan
Pelajaran berharga dari kebangkrutan Tupperware doc RRI
Pelajaran berharga dari kebangkrutan Tupperware doc RRI

KAMAKAMU – Tupperware adalah salah satu merek legendaris yang berdiri sejak 1946, dikenal sebagai pelopor wadah plastik yang tahan lama.

Berawal dari inovasi besar pada masanya, Tupperware berhasil memikat pasar melalui pendekatan direct selling, yang melibatkan reseller untuk menjual produk secara personal. Strategi ini terbukti efektif selama puluhan tahun.

Namun, tahun 2024 menjadi titik akhir bagi perusahaan ini, dengan pengumuman kebangkrutan total akibat akumulasi hutang lebih dari Rp1 triliun dan turunnya relevansi merek di era modern.

5 Alasan Mengapa Banyak Kedai Kopi Bangkrut

1. Bisnis Model yang Terjebak di Masa Lalu

Dilansir dari YouTube Raymond Chin Keberhasilan awal Tupperware terletak pada model direct selling. Produk yang sulit dijelaskan secara teknis membutuhkan pendekatan personal untuk meyakinkan konsumen.

Namun, model ini menghadapi kendala besar selama pandemi COVID-19. Dengan pembatasan sosial yang meluas, direct selling tidak lagi relevan. Ketika Tupperware mulai beralih ke online, waktu sudah terlambat.

Hutang yang menumpuk dan biaya operasional yang tinggi menjadi hambatan utama. Sayangnya, penetrasi ke pasar digital juga tidak berhasil karena target konsumennya, yaitu generasi muda, tidak lagi tertarik pada produk dan pendekatan usang mereka.

2. Gagal Beradaptasi dengan Tren Pasar

Salah satu penyebab terbesar kegagalan Tupperware adalah lambannya inovasi produk. Di tengah meningkatnya kesadaran lingkungan, banyak kompetitor mulai menawarkan alternatif seperti wadah berbahan kaca, stainless steel, atau silikon.

Sementara itu, Tupperware tetap bergantung pada plastik, yang tidak hanya dianggap ketinggalan zaman tetapi juga merugikan lingkungan. Kurangnya inovasi ini membuat produk mereka tidak lagi menarik di mata konsumen modern.

3. Kepemimpinan yang Terjebak Masa Lalu

Selama bertahun-tahun, Tupperware dipimpin oleh CEO dengan latar belakang direct selling. Pola pikir ini menghambat perubahan yang diperlukan.

Baru pada akhir 2023, Laurie Ann Goldman, yang memiliki pengalaman di pemasaran digital, diangkat sebagai CEO.

Di bawah kepemimpinannya, Tupperware mulai menunjukkan perubahan seperti rebranding dan pembaruan logo.

Namun, warisan masalah dari CEO sebelumnya terlalu berat untuk diatasi. Hutang besar dan kebijakan yang tidak relevan menjadi beban yang akhirnya membuat Tupperware menyerah.

4. Innovator’s Dilemma: Pelajaran Klasik untuk Semua Bisnis

Kebangkrutan Tupperware adalah contoh nyata dari fenomena innovator’s dilemma. Ketika perusahaan merasa berada di puncak kejayaan, mereka sering ragu untuk berinovasi karena takut menghadapi risiko.

Namun, tanpa inovasi, bisnis justru berisiko stagnasi dan kehilangan relevansi. Hal ini dialami oleh Tupperware yang terlalu lama nyaman dengan kesuksesan masa lalunya, sehingga gagal mengantisipasi perubahan pasar.

Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil

Kasus Tupperware mengajarkan pentingnya adaptasi dan inovasi yang konsisten dalam bisnis. Ketika perusahaan berada di posisi yang kuat, itulah momen terbaik untuk mengambil risiko dan berinvestasi pada perubahan. Kompetitor yang lebih kecil seperti LocknLock menunjukkan bagaimana keberanian untuk berinovasi dapat menjadi keunggulan kompetitif.*

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

12 ÷ 3 =
Powered by MathCaptcha